AUM SWASTIASTU! SELAMAT DATANG DI BLOG PASRAMAN EKA DHARMA

Jumat, 28 Agustus 2015

Workshop Pengurus Pasraman Angkatan II Provinsi Lampung


inilah suasana Workshop Pengurus Pasraman Agama Hindu Angkatan II se Provinsi Lampung di LP3 Sahid Krakatau, Tgl 20-22 Agustus 2015.
Kegiatan Workshop tersebut di buka oleh Bapak Pembimas Hindu Kanwil Kementrian Agama Provinsi Lampung  yaitu bapak I Nyoman Sudiarsa,S.Ag.M.Si ( dalam foto di tengah ). Beliau mewakili bapak Kanwil yang pada hari itu tidah bisa menghadiri acara pembukaan Workshop. Beliau juga memberikan materi yang luarbiasa kepada peserta Workhsop dengan tema " MEWUJUDKAN PENGELOLAAN PASRAMAN YANG IDEAL". Semoga saja Pasraman Eka Dharma dimasa yang akan datang bisa merealisasikan  program didalam materi yang telah disampaikan oleh bapak Pembimas Hindu Provinsi Lampung ( bapak I Nyoman Sudiarsa,S.Ag.M.Si )


Jumat, 25 Oktober 2013

Dosa, Jika Menyampaikan Aspirasi dengan Kekerasan




Wagdustattaskaraccaiwa
dandanaiwa ca himsatah
sahasya narah karta
wijneyah papakrtamah

(Manawa Dharmasastra. VIII. 345).
Maksudnya: Ia yang menyampa.ikan hasratnya dengan kasar dan kekerasan hendaknya dianggap melakukan kesalahan bear daii lebih jahat dan yang memfitnah dan pada pencuri dan ia yang melukai dengan tongkat.

Wagdustattaskaraccaiwa
dandanaiwa ca himsatah
sahasya narah karta
wijneyah papakrtamah

(Manawa Dharmasastra. VIII. 345).
Maksudnya: Ia yang menyampa.ikan hasratnya dengan kasar dan kekerasan hendaknya dianggap melakukan kesalahan bear daii lebih jahat dan yang memfitnah dan pada pencuri dan ia yang melukai dengan tongkat.

EUFORIA demokrasi dewasa un memberikan rakyat kebebasan menyatakan pendapat atau aspirasmya. Kebebasan menyatakan pendapat atau aspirasi itu memang salah satu ciri adanya demokrasi. Namun, dalam hidup berdemokrasi juga ada tanggung jawab dan norma-normanya seperti landasan hukumnya, etikanya, dan demokrasi itu adalah cara menyelenggarakan suatu kehidupan bersama. Mernang, kata “demokrasi” bermakna pemerintahan rakyat. Umumnya pengamalan demokrasi dalam suatu ketatanegaraan melalui suatu sistem perwakilan karena tidak mungkin seluruh rakyat dapat memerintah secara langsung.

Salah satu wujud penyelenggaraan demokrasi adalah dengan menjamin kemerdekaan rakyat untuk menyatakan pendapat dan aspirasinya. Tata cara menyampaikan aspirasi maupun pendapat sering dilakukan oleh sementara pihak dengan kekerasan. Kata-katanya kasar, disampaikan dengan gejolak emosional, dan sering juga dilakukan dengan pengerusakan terutama fasilitas umum, membakar ban bekas di tengah jalan, menebangi pohon, dll.

Padahal, untuk mendapatkan pohon setinggi dua meter saja sudah susah payah. Pohon seyogianya dilindungi, apalagi kwantitas pepohonan di pertamanan kota dan keberadaan hutan kita sudah semakin menipis. Ada demo yang sampai membuat jalan umum macet, masyarakat ketakutan, berbagai pelayanan publik menjadi amat terganggu.

Kalau dihitung-hitung, sudah banyak kerugian publik ditimbulkan oleh cara demontrasi yang disertai dengan kekerasan seperti itu. Padahal demo itu sudah ada aturannya yang pada intinya menyatakan tidak boleh dilakukan dengan kekerasan, dengan perilaku kasar dengan kata-kata maupun dengan tindakan perusakan yang nyata-nyata merusak harta benda dan perasaan masyarakat.

Kekerasan tidak saja merusak secara langsung yang kena kekerasan, tetapi yang di sampingnya juga akan merasakan dampak negatifnya. Perilaku kasar dengan kekerasan itu secara psikologis menimbulkan vibrasi buruk pada lingkungan rohani. Hal itu dapat merembet pada terganggunya suasana psikologi sosial di sekitarnya. Terlebih jika ditayangkan secara polos kekerasan itu di media televisi, lebih luas lagi dampak vibrasi negatifnya.

Oleh karenanya, demo untuk menyampaikan pendapat maupun aspirasi sebaiknya tidak dilakukan dengan kasar dan keras seperti itu. Sampaikan saja aspirasi dan pendapat kita itu secara baik-baik sesuai dengan aturan menyampaikan pendapat atau demo yang ada. Umpatan dengan menuduh orang seenaknya juga dapat merusak perasaan masyarakat.

Pejabat tinggi tentunya boleh saja dikritik dalam era demokrasi ini. Namun, kritik itu mesti disampaikan dengan bertanggung jawab dalam suasana damai dan dengan etika ketimuran. Kritik itu sesungguhnya untuk membuat orang menjadi baik atau lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian, berbagai hal yang dianggap sebagai suatu masalah akan menjadi terang.
Kritik mestinya disertai dengan berbagai analisa dengan usul-usul alternatif pemecahannya. Masalahpun akan terpecahkan dengan baik dan suasana sosial psikologisnya tetap terpelihara dengan baik, harmonis dan dinamis, menuju keadaan yang semakin baik.

Melakukan kritik membangun adalah tergolong perbuatan dharma karena tujuannya untuk memperbaiki, apalagi yang menyangkut kepentingan publik. Dalam Manawa Dharmasastra VIII. 15 ada dinyatakan dalam sebaris sloka-nya, “Dharmoraksati raksatah”. Maksudnya, siapa melindungi dharma, maka ia juga akan dilindungi oleh dharma. Kalau benar-benar tujuan kita memperbaiki keadaan negara, bangsa atau masyarakat berdasarkan dharma, tentunya hal itu amatlah mulia. Namun, tujuan yang mulia itu jangan dilakukan dengan cara-cara melanggar dharma seperti hukum, etika dan moral.

Kritik dapat disebut sebagai pengamalan dharma kalau bertujuan mulia dan disampaikan dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Kritik hendaknya berhasil memperbaiki keadaan secara menyeluruh, baik substansi yang dikritik maupun mereka yang dikritik. Apalagi misalnya mereka yang dikritik itu sadar dan tidak tersinggung pada pengkritik.

Saling kritik dengan tujuan untuk saling memperbaiki dalam suatu persahabatan sesungguhnya itulah persahabatan yang baik. Resi Vyasa menyatakan bahwa persahabatan yang tidak didasari oleh rambu-rambu etika moral yang dilandasi oleh daya spiritual dapat menimbulkan banyak keburukan.

Perilaku kasar sebagai wujud kekerasan itu oleh sloka Manawa Dharmasastra yang dikutip di awal tulisan ini menjadi sangat logis. Yang kena akibat negatif yang ditimbulkan oleh perilaku kasar sebagai wujud kekerasan itu tidak saja yang tertimpa kekerasan itu juga yang ada di sekitarnya. Karena itu, para pemimpin massa dalam masyarakat janganlah mudah terpancing untuk bertindak brutal dalam menyampaikan aspirasi atau pendapat.

Marilah sadari bersama cara pemecahan dengan kekerasan demikian itu justru akan menimbulkan masalah baru sedangkan masalah pokoknya juga tidak akan terselesaikan. Pada setiap kenyataan yang dianggap tidak baik dan tidak benar, marilah lakukan analisa dengan mengedepankan dasar-dasar ilmu pengetahuan untuk mencari solusi.

Resi Patanjali mengajarkan adanya lima tahap dalam memecahkan suatu masalah, yaitu : Tarka, mari kita perdebatkan persoalan yang kita ingin pecahkan. Nirwitarka, kita renungkan sedalam-dalamnya hasil diskusi atau debat tersebut. Sawicara, analisalah hasil Tarka dan Nirwikzrka itu. Selanjutnya Nirwicara, renungkan kembali hasil Sawicara tersebut. Terakhir Samanta, ambillah keputusan setelah melalui empat proses tersebut. 


Oleh : Drs. I Ketut Wiana, MAg
 
Dimensi – Balipost Minggu, 7 Pebruari 2010.
 

Brahmana Itu Bertani






Bhagawan Domya didatangi oleh tiga calon muridnya yaitu Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Ketiganya mènyatakan keinginannya untuk berguru kepada Bhagawan Domya. Sebelum memberikan pelajaran kepada calon muridnya Bhagawan Domya melakukan Upanayana, yaitu menguji sang murid dengan berbagai aktivitas. Ternyata Bhagawan Domya menugaskan murid-muridnya yaitu Sang Utamanyu melakukan aktivitas bertani, Sang Arunika menggembala sapi, dan Sang Weda memasak. Bagi sementara orang pekerjaan seperti itu mungkin dianggap mudah, namun bagi Bhagawan Domya dengan pekeijaan inilah beliau dapat menguji karakter muridnya.

Pekerjaan bertani yang dilakukan oleh Sang Utamanyu ternyata sungguh berat. Berkali-kali pematang sawahnya tergerus air sehingga pohon-pohon padi yang baru tumbuh hancur berantakan. Berkali-kali Sang murid memperbaiki pematang sawahnya, namun berkali-kali pula ia dilanda banjir. Sampai akhirnya Sang Utamanyu menjadikan dirinya sebagai pematang, merebahkan dirinya dan dengan tanpa tanggung-tanggung menerima gerusan air itu. Hal itu dilihat langsung oleh Sang Guru, sehingga sang guru memiliki keyakinan bahwa Sang Utamanyu yang telah sampai pada tingkat karakter tertentu, yaitu memiliki keikhlasan dan rasa bakti kepada gurunya diterima menjadi muridnya. (Bahasa teksnya : Sang Arunika kinon ira ysãwaha rumuhun, kamèna nira wehana ri sang hyang Dharmasastra. Yatna ta sang Arunikangulaha, sakramaning masawah ginawayakèn ira, sedeng ahayu tuwuh nikang wija, teka tang wah saha wrëstipata hudan adres. Alah ta galéng nikang sawah. Saha ri wédi niran kahibèkana toya ikang pari, tinambak nira ta ya, tapwan asowe ikang wway. Alah teka tambak nika, muwah tinambak ira. Tan wring deya nira, i wekasan tinambakaken tãwak nireng wway manglendo, tarmolah irikang rahina wèngi. Katon tawak nira ngkaneng sawah de sang guru. Mojar bhagawan Domya ri sira, kinon ta ya sirawungwa).

Inilah sebuah contoh betapa bertani merupakan bagian pentirig dan kehidupan kaum Brahmana di masa silam. Dengan bertani diharapkan mereka dapat menumbuhkan dan menyuburkan kesabaran hati, ketetapan hati, tetapi juga keteguhan iman. Dan dalam konteks’tradisi bertani di Bali ada hal-hal yang dapat menjelaskan nilai-nilai tersebut.

Bahwa pematang disebut sebagai “pundukan”, berasal dari kata unduk yang bermakna ajaran yang telah ditetapkan, dan di pematang itu pula ditanam pohon-pohonan yang disebut sebagai “pagehan” berasal dari kata pageh yang berarti ketetapan hati. Dan sekali tempo di pematang itu pula ditanam pohon kiwi (turi) yang berarti kesungguhan hati. Pemberian nama seperti itu pasti bukan sebuah kebetulan, namun sesuatu yang telah dipikirkan matang-matang oleh kaum brahmana yang bertani di masa silam.

Sawah di Bali disebut Carik, dan carik berkait dengan aksara. Semua aksara Bali dimulai dengan carik dan berakhir dengan carik. Dan carik pun disebut sebagai uma, sebuah nama yang diberikan kepada sakti Dewa Siwa yaitu Dewi Uma atau Parwati atau Giriputri. Demikianlah sebenarnya dengan mencangkul sawah, cangkul di Bali disebut Tambah yang berkonotasi dengan sembah, sebenarnya mereka yang bertani memuja atau menyembah Sang Dewi. Bersamaan dengan itu mereka juga menyembah Dewi Sri sakti Dewa Wisnu, dan karena Brahmana yang bertani itu adalah orang-orang yang bersastra, dan menyebut sawahnya dengan carik, berarti mereka juga menyembah Dewi Aksara atau Dewi Saraswati sakti Dewa Brahma.

Dewi Uma, Dewi Sri, dan Dewi Saraswati adalah disebut sebagai Tri Dewi. Di dalam kitab Jnana Siddhanta yang disebut sebagai Pranawa Tri Dewi, atau penyatuan ketiganya tiada lain adalah Dewi Saraswati. Didalam Dewi Saraswati telah terdapat Dewi Uma dan Dewi Sri.
Patani
Sampai disini kita tertarik dengan apa yang disebut sebagai Patani. Dalam tradisi sastra patani adalah sebuah balai-balai yang disebut juga sebagai payasan tempat yang pujangga menulis karya sastra. Patani boleh jadi sebuah gubuk kecil namun didirikan disebuah tempat terpilih oleh sang pujangga untuk melakukan yoga sastra, untuk melakukan proses kreatif menulis karya sastra. Disebut sebagai payasan, berasal dan kata yasa, berarti pengabdian, maka disinilah Sang Pujangga melakukan aktivitas pengabdiannya kepada Dewa Pujaannya.
Maka begitu banyak karya-karya sastra lahir dan gubik sastra yang disebut sebagai patani itu. Dan kemanapun pergi Sang Pujangga membawa karas, batu tulis yang juga disebut sebagai tanah. Di tanah itulah mereka menyuratkan rasa dalam puisi-puisi dengan kaidah-kaidah yang ketat, lalu disusun menjadi sebuah candi sastra.

Demikianlah aktivitas para pujangga, atau para brahmana yang bersastra tetapi juga menjadi petani. Eengan demikian kita dapat memahami mengapa dalam banyak kitab-kitab sastra yang memuat ajaran rohani yang tinggi memuat sejumlah simbol yang diambil dan dunia pertanian : seperti butir embun di ujung rumput yang kena sinar matahari pagi memancarkan sinar cemerlang, disebut bagaikan windu. Windu juga dipakai sebagai simbol kesucian dan kecemerlangan pikiran.

Agaknya Ida Pedanda Made Sidemen boleh dijadikan contoh seorang Brahmana yang bertani. Sesungguhnya beliau yang juga menulis Dharma Pemaculan (ajaran dan etika petani) itu, begitu suka dengan aktivitas di sawah ataupun di tegal, dengan aktivitas yang beliau sebut sebagai guna dusun. Namun akhirnya beliau sampai pada sebuah pernyataan : Sing ngelah karang sawah, karang awake tandurin (tidak memiliki sawah diri sendiri yang ditanami). Artinya secara implisit beliau menyatakan bahwa bersawah adalah sesuatu yang patut dilaksanakan dalam hidup ini, namun bila tidak punya sawah kita harus menyemai biji-biji “padi” di dalam diri.

Padi disebut juga sebagai pantun, atau syair, boleh jadi dapat diumpamakan juga sebagai sloka-sloka suci. Butir-butir kesucian itu harus ditumbuhkan di dalam diri, dan ini dilakukan secara terus-menerus oleh sang pendeta.

Namun demikian para pendeta (brahmana) di Desa Sidemen Karangasem sendiri dimasa yang tidak terlalu lama dengan jaman kita adalah para pendeta yang bertani. Ida Pedanda Cede Made Tianyar, seorang pendeta yang berasrama di Geriya Maridhara Sidemen Karangasem menuturkan bahwa para tetua beliau adalah para pendeta yang bertani. Di pagi-pagi buta para pendeta itu telah pergi kesawah dengan menjinjing cangkul (tidak memikulnya) lalu mengolah tanah untuk ditanami padi. Ketika mataharitelah muncul di ufuk timur para pendeta itu lalu kembali pulang ke asrama, mandi, dan dilanjutkan melaksanakan Surya Sewana. Setelah itu beliau melakukan meditasi, atau menulis karya-karya sastra, dan ajaran-aiaran agama. Menjelang sore han beliau kembali ke sawah, bila ada sisa air suci atau tirta setelah beliau melaksanakan pemujaan, maka tirta itu beliau siramkan di tengah sawah.
Maka sawah sesungguhnya sesuatu yang dijaga kesuciannya, dihindari dati pencemaran dan pengotoran. Dengan demikian biji-biji padi yang tumbuh disitu benar-benar terjaga kwalitas dan kesuciannya. Karena sawah itu disucikan maka tidak sembarang orang dapat melakukan aktivitas sembarangan atau merusak nilai-nilai’kesucian tersebut.

Mretiwi
Di Sidemen Karangasem pun ada sebuah istilah yang menarik yaitu istilah Mretiwi, istilah yang dimaksudkan sebagai ganti dari kata bertani atau bersawah. Mretiwi berasal dari kata pretiwi atau tanah, yang didalam ajaran tattwa disebut sebagai sarwa tattwa. Ibu pertiwi disebut sebagai sarwa tattwa, karena tattwa yang diatasnya ada didalam pertiwi. Sebagaimana kita ketahui Panca Maha Butha Tattwa terdiri atas Pratiwi (tanah), Apah (air), Teja (api), Bayu (angin) dan Akasa (ether). Di atas pertiwi adalah apah, dan seterusnya, dan semua unsur diatasnya itu termasuk akasa ada di pertiwi.

Para pendeta atau Brahmana memang senantiasa menjadikan ajaran tattwa sebagai ajaran pokoknya, beliau senantiasa mendiskusikan ajaran tattwa tersebut termasuk Panca Maha Butha Tattwa, Panca Tanmatra Tattwa, Triguna Tattwa, Catur Dasa Tattwa sampai dengan Sodasa Tattwa dan seterusnya. Dalam ajaran tattwa itu Pratiwi tattwa disebut sebagai Sarwa Tattwa sehingga menjadi sangat penting. Memahami apa yang terdapat di dalam pertiwi, hukum-hukumnya mutlak bagi para pendeta. Kiranya itulah sebabnya beliau juga melakukan aktivitas mretiwi atau bertani.

Di sisi lain pretiwi juga dijadikan sebagai contoh dalam menyampaikan ajaran agama termasuk ajaran kesusilaan. Bahwa untuk mencontoh kesabaran, contohlah ibu pertiwi, yang senantiasa sabar dan tak henti-hentinya memberikan kehidupan bagi segala yang tumbuh diatasnya. Orang yang sabar disebut sang ksamawan, dan apabila masyarakat kehilangan sang ksamawan, maka masyarakat akan diselubungi oleh orang-orang gelisah, murka, akhirnya terjadi pertengkaran (Bahasa teks Sarasamuccaya sbb : ”Sang ksamawan ngaranira, tan pahi lawan sang hyang Prthiwi, ring kapwa kelan,an mangkana, tan hana niyataning pamitran krodhatmaka awaking sarwabhawa, kapwa tan tukar niyatanya”).

Kaum brahmana atau pendeta yang bertani memiliki pengetahuan yang sempurna ketika menulis tentang simbolis pertiwi karena beliau benar-benar merasakan bagaimana ibu pertiwi itu sendiri ketika beliau bertani. Maka ketika beliau menguncarkan pratiwi puja atau akasa puja benar-benar beliau merasakan hakekat puja itu sendiri.

Jagattraya
Bukan hanya itu hukum-hukum Jagattraya atau ketiga dunia benar-benar menjadi sesuatu yang dirasakan bukan hanya sesuatu yang diketahui. Apa yang disebut sebagai Rta atau Dharma yang menjadi hukum Jagattraya adalah pengetahuan terpenting bagi kaum Brahmana. Maka karena beliau juga bertani beliau juga benar-benar mengetahui apa yang disebut sebagai Rtu atau musim. Bagi para pujangga musim begitu penting karena ketika melukiskan keadaan alam mereka harus memahami ciri-ciri musim tersebut. Kapat misalnya begitu penting bagi para pujangga, bulan penuh keindahan, bulan yang dinanti-nanti untuk menulis karya sastra. Guntur, hujan rintik-rintik dan bunga bermekaran pada sasih Kapat (Kartika) selalu mendapatkan deskripsi panjang di dalam karya sastra berkait dengan keindahan dan cinta.

Para pujangga yang bertani dan gemar menyusup ke dalam ladang akan mendapat pengetahuan lengkap tentang flora dan fauna, yang akan dijadikan kata-kata puisi di dalam karyanya. Berbagai pohon bunga seperti asoka dan asana, pudak dan ketaka, pidada dan campaka, begitu menarik perhatian para pujangga. Demikian pula buah-buahan seperti “jambu, durian, poh, manggis, kapundung, duwet” (Lihat Kakawin Ramayana) dicatat dalam karya sastra yang tertua dan terindah itu.

Dengan masuk ke alam dan membenamkân din kedalam alam para brahmana mendapat puncak yoga, termasuk yoga sastra. Hukum Jagattraya yang terbangun atas Uttpeti, Sthiti dan Pralina terhayati dengan sempurna. Kelahiran, kehidupan dan kematian adalah keniscayaan, oleh karena itu ajaran tentang Sangkanparan dumadi atau hakekat asal dan tujuan manusia menjadi penting. Di dalam Kakawin Arjunawiwaha ada disuratkan bahwa Sang Pencipta menyusup ke dalam yang ada maupun tiada, menjadi sebab adanya kelahiran, kehidupan dan kematian, tetapi juga adalah hakikat asal dan tujuan manusia. Beliau hanya akan diketahui dengan nyata oleh dia yang melaksanakan yoga.

Sebelumnya dinyatakan bahwa sang pencipta bagaikan api di dalam kayu, bagaikan minyak di dalam santan, yang nyata-nyata muncul apabila ada orang yang memutar kesadaran dengan benar. Boleh jadi memutar kesadaran dengan benar bukan hanya duduk bersila atau beryoga menurut pandangan umum, namun menyusup ke dalam alam, memahami hukum-hukumnya dengan penuh kesabaran dan ketetapan hati. Maka disamping beryoga dengan bersila para Brahmana dan pujangga di masa lalu beryoga dengan membenamkan diri ke dalam alam.

Kita mewarisi sejumlah karya filsafat atau tattwa dan karya sastra dari tangan kuat namun halus kaum pendeta dan pujangga di masa lalu. Kaum pendeta atau brahmana yang bertani, yang mengolah sawah sebagai jalan yoga, yang mengolah tanah sebagai persembahan dan bhakti. Beliau berpegang kepada sesuatu yang diyakini sebagai ajaran yang abadi, bahwa hidup adalah karma, dan dengan berkarma kita menumbuhkan bhakti dan Jnana. Seluruh hidup adalah jalan yoga menuju kamanunggalan dengan Sang Pencipta.

 Oleh: Ki DharmaTanaya 
WHD. No. 471 April 2006.



Bicara Keburukan Orang Adalah Meditasi




Print
E-mail



Kimcijjñair yâ ámrtâ üuddhih sa üuddhih uambhudaruane
Na uucir hy auucis tasmân-nirvikalpah sukhibhavet

(Vijñânabhairava, 123)

Kemurnian yang dipahami oleh masyarakat umum dengan pengertian yang sangat térbatas di dalam paham Saiva, sesungguhnya dinyatakan sebagai ketidakmurnian. Tidak bisa disebut kemurnian tetapi hanya ketidakmurnian. karena itu hanya orang yang telah bebas dan vikalpa-lah yang mencapai kebahagiaan.
Mutiara Weda – NusaBali, Rabu 29 Juli 2009.
Bicara Keburukan Orang Adalah Meditasi
Oleh : I Gede Suwantana
Kimcijjñair yâ ámrtâ üuddhih sa üuddhih uambhudaruane
Na uucir hy auucis tasmân-nirvikalpah sukhibhavet

(Vijñânabhairava, 123)

Kemurnian yang dipahami oleh masyarakat umum dengan pengertian yang sangat térbatas di dalam paham Saiva, sesungguhnya dinyatakan sebagai ketidakmurnian. Tidak bisa disebut kemurnian tetapi hanya ketidakmurnian. karena itu hanya orang yang telah bebas dan vikalpa-lah yang mencapai kebahagiaan.

Ini adalah salah satu teknik meditasi dalam Tantra. Kalau concern kita pada nirvikalpah sukhi bhavet, ‘hanya orang yang telah bebas dari vikalpa yang mencapai kebahagiaan,’ maka hanya orang-orang tertentu saja yang mampu mencapainya. Vikalpa artinya dikotomi kontruksi pikiran. Jarang sekali orang yang mampu melepaskan dualitas atau dikotomi ini, seperti baik-buruk, panas dingin dan lain sebagainya. Hampir semua dan kita masih sangat terbelenggu dalam baik dan buruk dan kalau dilihat di dalam masyarakat sendiri, hanya inilah yang diperdebatkan. Ideal yang ingin dicapai adalah kebaikan dan menghilangkan keburukan.

Bagaimana sloka ini menjadi teknik meditasi di dalam masyarakat? Mari kita analisa pernyataan ini dengan realitas di masyarakat. Eksistensi masyarakat, karena masih berkutat pada dualitas, maka menurut paham Saiva adalah ketidakmurnian itu sendiri. Paham ini lebih mengarah pada individu, yakni hanya dia yang mampu mengatasi dualitaslah yang disebut murni (suddhih). Kemudian, kenyataan dialektika di lapangan yang dapat kita lihat adalah masyarakat berusaha mencapai kebaikan. Mari kita nyatakan bahwa kebaikan dan kemurnian ni sejalan, meskipun maknanya berbeda. Ketidakmurnian dan keburukan adalah lawannya. Dimana kita melihat indikasi ini (bahwa masyarakat menginginkan kebaikan)? Buktinya, setiap orang bisa membicarakan keburukan orang lain. Siapapun yang bisa membicarakan keburukan orang lain berarti dia lebih baik dari mereka yang dibicarakan (sebab logikanya dalam bersih kita bisa melihat kotor. Bersih eksis karena kotor juga eksis. Setiap orang menginginkan baik seperti dirinya.

Dari analisa ini dapat kita nyatakan bahwa “kemurnian orang lain adalah ketidakmurnian bagi diri kita atau kebaikan orang lain adalah keburukan bagi kita.” Mengapa? Sebab orang lain tidak murni atau baik seperti kita. Oleh karena itu sangat wajar kalau di masyarakat setiap orang membicarakan keburukan orang lain dan meninggikan dirinya sendiri. “Menggosipkan orang lain adalah bentuk meditasi”. Bagi masyarakat umum mereka bermeditasi dengan gossip. Untuk duduk hening mereka tidak ada waktu, namun dengan gossip, mereka bisa duduk berjam-jam. Mereka nyaman dan bahagia dengan cara ini. Memang, tujuan meditasi adalah mencapai kebahagiaan seperti sloka di atas. Karena dengan cara ini mereka bahagia, maka mereka tidak mau lepas dari gossip, membicarakan keburukan orang lain dan menginginkan orang lain seperti kebaikan ideal yang ada pada dirinya.

Namun ada beberapa orang yang merealisasikan melalui meditasi ini bahwa jika orang lain diluar diri kita adalah tidak murni atau buruk (makanya kita gosipkan), maka orang lain pun memandang diri kita buruk, sebab standpoint-nya adalah dini individu masing-masing. Orang yang mampu merealisasikan ini melihat bahwa dirinya pun buruk di mata orang lain (sepanjang pernyataan ini kita concern). Karena demikian, ia tidak bisa lagi membicarakan keburukan orang lain, sebab dia sadar bahwa dirinya sendiri juga buruk bagi orang lain. Ia tidak bisa menjelekkan karena sama-sama jelek. Ia tidak lagi bisa menggosip. Di masyarakat orang seperti ini dianggap gila, orang aneh, sebab tidak bisa mengatakan kejelekan orang lain lagi. Dia berbalik, dia akan selalu melihat kejelekkan dirinya dan melihat kebaikan orang lain. Masyarakat menyatakan orang seperti ini telah lepas dari lingkungan yang “meditative.” Masyarakat selalu berada dalam keadaan “meditative”. Maka kesimpulannya adalah untuk tetap berada dalam kondisi “meditative,” selalulah membicarakan kejelekan orang lain! menggosip.  
Penulis, Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta.
 Mutiara Weda – NusaBali, Rabu 29 Juli 2009.

Oleh : I Gede Suwantana


Dana Punia, Prioritas Beragama di Zaman Kali




Print
E-mail



Tapah pararn kerta yuge
tretayam jnyanamucyate
dwapare yajnyawaewahur
danamekam kalau yuge

(Manawa Dharmasastra, I.85)
Maksudnya: Bertapa prioritas beragama zaman Kerta, prioritas beragama zaman Treta Yuga dalam jnyana, zaman Dwapara Yuga dengan upacara yadnya, sedangkan prioritas beragama zaman Kali Yuga adalah Dana Punia.
Dimensi – Balipost Minggu, 10 Januari 2010.
Dana Punia, Prioritas Beragama di Zaman Kali
Oleh : Drs. I Ketut Wiana, M.Ag
Tapah pararn kerta yuge
tretayam jnyanamucyate
dwapare yajnyawaewahur
danamekam kalau yuge

(Manawa Dharmasastra, I.85)
Maksudnya: Bertapa prioritas beragama zaman Kerta, prioritas beragama zaman Treta Yuga dalam jnyana, zaman Dwapara Yuga dengan upacara yadnya, sedangkan prioritas beragama zaman Kali Yuga adalah Dana Punia.
ADA lima hal yang wajib dijadikan dasar pertimbangan untuk mengamalkan agama (dharma) agar sukses (Dharmasiddhiyartha). Hal itu dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII.10. Lima dasar pertimbangan itu adalah iksha, sakti, desa kala dan tattwa. Iksha adalah pandangan hidup masyarakat setempat, sakti adalah kemampuan, desa adalah aturan rohani setempat, kala (waktu) dan tattwa (hakikat kebenaran Weda).

Kala sebagai salah satu hal yang wajib dipertimbangkan dalam mengamalkan agama Hindu agar sukses. Waktu dalam ajaran Hindu memiliki dimensi amat luas. Ada waktu dilihat dari konsep Tri Guna. Karena itu ada waktu satvika kala, rajasika kala dan tamasika kala. Ada waktu berdasarkan konsep Yuga — Kerta Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Keadaan zaman ditiap-tiap yuga itu berbeda-beda. Karena itu, cara beragama-pun berbeda-beda pada setiap zaman.

Menurut Manawa Dharmasastra 1.85 sebagaimana dikutip diawal tulisan ini, prioritas beragama-pun menjadi berbeda-beda pada setiap zaman. Pada zaman Kerta Yuga, kehidupan beragama diprioritaskan dengan cara bertapa. Pada Treta Yuga dengan memfokuskan pada jnyana. Pada zaman Dwapara Yuga dengan upacara yadnya dan pada zaman Kala Yuga beragama dengan prioritas melakukan dana punia.

Melakukan dana punia diarahkan untuk membangun SDM yang berkualitas. Pustaka Slokantara Sloka 2 menyatakan lebih utama nilainya mendidik seorang putra menjadi suputra daripada seratus kali upacara yadnya. Inilah idealisme ajaran Hindu yang semestinya dijadikan acuan pada zaman Kali Yuga dewasa ini.

Pada kenyataannya, umat Hindu di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya masih mengutamakan upacara yadnya sebagai prioritas beragama. Hal ini akan menimbulkan akibat yang kurang baik dalam kehidupan beragama. Dinamika umat dalam berbagai bidang kehidupan amat meningkat pesat. Kegiatan hidup yang semakin meningkat itu membutuhkan waktu, biaya, tenaga dan sarana lainnya. Amat berbeda dengan kehidupan pada zaman agraris tulen dimana umat umumnya lebih banyak di sawah ladang dan kebun untuk mencari nafkah.
Pada zaman industri ini, mobilitas umat makin tinggi dan kegiatan hidup makin beraneka ragam. Karena itu, amatlah tepat arahan Manawa Dharmasastra I.85. itu — beragama yang lebih mempriotaskan kegiatan ber-dana punia. Ini bukan berarti upacara yadnya sebagai kegiatan beragama Hindu ditinggalkan.

Upacara yadnya tetap berlangsung tetapi bukan merupakan prioritas. Justeru upacara yadnya tetap dilakukan dengan lebih menekankan aspek spiritualnya, bukan pada wujud ritualnya yang menekankan fisik material.

Apalagi bagi umat Hindu di Bali tingkatan bentuk upacara yadnya yang pada dasarnya dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu upacara nista, madia dan utama. Nista, madia dan utama itu umumnya didasarkan pada wujud fisiknya upacara. Kalau besar dan banyak sarana yang digunakan disebut utama, kalau sedikit disebut madia, dan seterusnya. Yang kecil, menengah dan besar itu masing-masing dapat lagi dibagi menjadi tiga bagian. Dengan demikian, dari yang terkecil sampai terbesar dapat dibagi jadi sembilan.

Dalam melakukan berbagai kegiatan hidup, umat seyogianya menjadikan ajaran agama sebagai pegangan dalam menjaga keluhuran moral dan ketahanan mental. Dalam melakukan berbagai kegiatan hidup, sesungguhnya agama memegang peranan penting agar semuanya selalu berada pada jalan dharma. Substansi upacara yadnya adalah untuk membangun rasa dekat dengan Tuhan melalui bhakti, dekat dengan sesama manusia melalui punia atau pengabdian, dan merasa dekat dengan alam dengan jalan asih.
Mengapa disebut upacara yadnya? Kata “upacara” dalam bahasa Sansekerta berarti “dekat” dan yadnya berarti pengorbanan dengan ikhlas dalam wujud pengabdian. Karena itu, dalam kegiatan upacara yadnya ada “upacara” yang berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya pelayanan. Kita akan merasa dekat dengan Tuhan dengan sarana upakara sebagai sarana bhakti.

Penggunaan flora dan fauna sebagai sarana upacara menurut Menawa Dharmasastra V.40 sebagai media pemujaan agar flora dan fauna itu mejadi lebih lestari pada penjelmaan selanjutnya. Ini artinya, penggunaan flora dan fauna itu sebagai media untuk memotivasi umat untuk secara nyata (sekala) melestarikan keberadaan tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut. Jadi, upacara yadnya bukan sebagai media pembantaian flora dan fauna.

Pada zaman Kali ini, keberadaan flora dan fauna sudah semakin terancam eksistensinya Karena itu amatlah tepat kalau bentuk fisik upacara itu diambil dalam wujud yang lebih sederhana (nista), sehinga pemakaian flora dan fauna itu tidak sampai mengganggu eksistensi sumber daya alam tersebut. Justru upacara yadnya itulah seyogianya dijadikan suatu momentum untuk melakukan upaya pelestarian flora dan fauna.

Dalam Sarasamuscaya 135 ada dinyatakan, untuk melakukan bhuta hita atau upaya mensejahterakan semua makhluk (sarwa prani) ciptaan Tuhan ini. Kesejahteraan alam (bhuta hita) itulah sebagai dasar untuk mewujudkan empat tujuan hidup mencapai dharma, artha, kama dan moksha.

Ke depan, upacara yadnya hendaknya dimaknai lebih nyata dengan melakukan asih, punia dan bhakti. Asih pada alam lingkungan dengan terus menerus berusaha meningkatkan pelestarian keberadaan flora dan fauna, punia dengan melakukan pengabdian pada sesama manusia sesuai dengan swadharma masing-masing. Asih dan punia dilakukan sebagai wujud bhakti pada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).

 Dimensi – Balipost Minggu, 10 Januari 2010.
 
Oleh : Drs. I Ketut Wiana, M.Ag