Bhagawan Domya didatangi oleh tiga calon muridnya yaitu Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Ketiganya mènyatakan keinginannya untuk berguru kepada Bhagawan Domya. Sebelum memberikan pelajaran kepada calon muridnya Bhagawan Domya melakukan Upanayana, yaitu menguji sang murid dengan berbagai aktivitas. Ternyata Bhagawan Domya menugaskan murid-muridnya yaitu Sang Utamanyu melakukan aktivitas bertani, Sang Arunika menggembala sapi, dan Sang Weda memasak. Bagi sementara orang pekerjaan seperti itu mungkin dianggap mudah, namun bagi Bhagawan Domya dengan pekeijaan inilah beliau dapat menguji karakter muridnya. Pekerjaan bertani yang dilakukan oleh Sang Utamanyu ternyata sungguh berat. Berkali-kali pematang sawahnya tergerus air sehingga pohon-pohon padi yang baru tumbuh hancur berantakan. Berkali-kali Sang murid memperbaiki pematang sawahnya, namun berkali-kali pula ia dilanda banjir. Sampai akhirnya Sang Utamanyu menjadikan dirinya sebagai pematang, merebahkan dirinya dan dengan tanpa tanggung-tanggung menerima gerusan air itu. Hal itu dilihat langsung oleh Sang Guru, sehingga sang guru memiliki keyakinan bahwa Sang Utamanyu yang telah sampai pada tingkat karakter tertentu, yaitu memiliki keikhlasan dan rasa bakti kepada gurunya diterima menjadi muridnya. (Bahasa teksnya : Sang Arunika kinon ira ysãwaha rumuhun, kamèna nira wehana ri sang hyang Dharmasastra. Yatna ta sang Arunikangulaha, sakramaning masawah ginawayakèn ira, sedeng ahayu tuwuh nikang wija, teka tang wah saha wrëstipata hudan adres. Alah ta galéng nikang sawah. Saha ri wédi niran kahibèkana toya ikang pari, tinambak nira ta ya, tapwan asowe ikang wway. Alah teka tambak nika, muwah tinambak ira. Tan wring deya nira, i wekasan tinambakaken tãwak nireng wway manglendo, tarmolah irikang rahina wèngi. Katon tawak nira ngkaneng sawah de sang guru. Mojar bhagawan Domya ri sira, kinon ta ya sirawungwa). Inilah sebuah contoh betapa bertani merupakan bagian pentirig dan kehidupan kaum Brahmana di masa silam. Dengan bertani diharapkan mereka dapat menumbuhkan dan menyuburkan kesabaran hati, ketetapan hati, tetapi juga keteguhan iman. Dan dalam konteks’tradisi bertani di Bali ada hal-hal yang dapat menjelaskan nilai-nilai tersebut. Bahwa pematang disebut sebagai “pundukan”, berasal dari kata unduk yang bermakna ajaran yang telah ditetapkan, dan di pematang itu pula ditanam pohon-pohonan yang disebut sebagai “pagehan” berasal dari kata pageh yang berarti ketetapan hati. Dan sekali tempo di pematang itu pula ditanam pohon kiwi (turi) yang berarti kesungguhan hati. Pemberian nama seperti itu pasti bukan sebuah kebetulan, namun sesuatu yang telah dipikirkan matang-matang oleh kaum brahmana yang bertani di masa silam. Sawah di Bali disebut Carik, dan carik berkait dengan aksara. Semua aksara Bali dimulai dengan carik dan berakhir dengan carik. Dan carik pun disebut sebagai uma, sebuah nama yang diberikan kepada sakti Dewa Siwa yaitu Dewi Uma atau Parwati atau Giriputri. Demikianlah sebenarnya dengan mencangkul sawah, cangkul di Bali disebut Tambah yang berkonotasi dengan sembah, sebenarnya mereka yang bertani memuja atau menyembah Sang Dewi. Bersamaan dengan itu mereka juga menyembah Dewi Sri sakti Dewa Wisnu, dan karena Brahmana yang bertani itu adalah orang-orang yang bersastra, dan menyebut sawahnya dengan carik, berarti mereka juga menyembah Dewi Aksara atau Dewi Saraswati sakti Dewa Brahma. Dewi Uma, Dewi Sri, dan Dewi Saraswati adalah disebut sebagai Tri Dewi. Di dalam kitab Jnana Siddhanta yang disebut sebagai Pranawa Tri Dewi, atau penyatuan ketiganya tiada lain adalah Dewi Saraswati. Didalam Dewi Saraswati telah terdapat Dewi Uma dan Dewi Sri.
Patani
Sampai disini kita tertarik dengan apa yang disebut sebagai Patani. Dalam tradisi sastra patani adalah sebuah balai-balai yang disebut juga sebagai payasan tempat yang pujangga menulis karya sastra. Patani boleh jadi sebuah gubuk kecil namun didirikan disebuah tempat terpilih oleh sang pujangga untuk melakukan yoga sastra, untuk melakukan proses kreatif menulis karya sastra. Disebut sebagai payasan, berasal dan kata yasa, berarti pengabdian, maka disinilah Sang Pujangga melakukan aktivitas pengabdiannya kepada Dewa Pujaannya. Maka begitu banyak karya-karya sastra lahir dan gubik sastra yang disebut sebagai patani itu. Dan kemanapun pergi Sang Pujangga membawa karas, batu tulis yang juga disebut sebagai tanah. Di tanah itulah mereka menyuratkan rasa dalam puisi-puisi dengan kaidah-kaidah yang ketat, lalu disusun menjadi sebuah candi sastra. Demikianlah aktivitas para pujangga, atau para brahmana yang bersastra tetapi juga menjadi petani. Eengan demikian kita dapat memahami mengapa dalam banyak kitab-kitab sastra yang memuat ajaran rohani yang tinggi memuat sejumlah simbol yang diambil dan dunia pertanian : seperti butir embun di ujung rumput yang kena sinar matahari pagi memancarkan sinar cemerlang, disebut bagaikan windu. Windu juga dipakai sebagai simbol kesucian dan kecemerlangan pikiran. Agaknya Ida Pedanda Made Sidemen boleh dijadikan contoh seorang Brahmana yang bertani. Sesungguhnya beliau yang juga menulis Dharma Pemaculan (ajaran dan etika petani) itu, begitu suka dengan aktivitas di sawah ataupun di tegal, dengan aktivitas yang beliau sebut sebagai guna dusun. Namun akhirnya beliau sampai pada sebuah pernyataan : Sing ngelah karang sawah, karang awake tandurin (tidak memiliki sawah diri sendiri yang ditanami). Artinya secara implisit beliau menyatakan bahwa bersawah adalah sesuatu yang patut dilaksanakan dalam hidup ini, namun bila tidak punya sawah kita harus menyemai biji-biji “padi” di dalam diri. Padi disebut juga sebagai pantun, atau syair, boleh jadi dapat diumpamakan juga sebagai sloka-sloka suci. Butir-butir kesucian itu harus ditumbuhkan di dalam diri, dan ini dilakukan secara terus-menerus oleh sang pendeta. Namun demikian para pendeta (brahmana) di Desa Sidemen Karangasem sendiri dimasa yang tidak terlalu lama dengan jaman kita adalah para pendeta yang bertani. Ida Pedanda Cede Made Tianyar, seorang pendeta yang berasrama di Geriya Maridhara Sidemen Karangasem menuturkan bahwa para tetua beliau adalah para pendeta yang bertani. Di pagi-pagi buta para pendeta itu telah pergi kesawah dengan menjinjing cangkul (tidak memikulnya) lalu mengolah tanah untuk ditanami padi. Ketika mataharitelah muncul di ufuk timur para pendeta itu lalu kembali pulang ke asrama, mandi, dan dilanjutkan melaksanakan Surya Sewana. Setelah itu beliau melakukan meditasi, atau menulis karya-karya sastra, dan ajaran-aiaran agama. Menjelang sore han beliau kembali ke sawah, bila ada sisa air suci atau tirta setelah beliau melaksanakan pemujaan, maka tirta itu beliau siramkan di tengah sawah. Maka sawah sesungguhnya sesuatu yang dijaga kesuciannya, dihindari dati pencemaran dan pengotoran. Dengan demikian biji-biji padi yang tumbuh disitu benar-benar terjaga kwalitas dan kesuciannya. Karena sawah itu disucikan maka tidak sembarang orang dapat melakukan aktivitas sembarangan atau merusak nilai-nilai’kesucian tersebut. Mretiwi Di Sidemen Karangasem pun ada sebuah istilah yang menarik yaitu istilah Mretiwi, istilah yang dimaksudkan sebagai ganti dari kata bertani atau bersawah. Mretiwi berasal dari kata pretiwi atau tanah, yang didalam ajaran tattwa disebut sebagai sarwa tattwa. Ibu pertiwi disebut sebagai sarwa tattwa, karena tattwa yang diatasnya ada didalam pertiwi. Sebagaimana kita ketahui Panca Maha Butha Tattwa terdiri atas Pratiwi (tanah), Apah (air), Teja (api), Bayu (angin) dan Akasa (ether). Di atas pertiwi adalah apah, dan seterusnya, dan semua unsur diatasnya itu termasuk akasa ada di pertiwi. Para pendeta atau Brahmana memang senantiasa menjadikan ajaran tattwa sebagai ajaran pokoknya, beliau senantiasa mendiskusikan ajaran tattwa tersebut termasuk Panca Maha Butha Tattwa, Panca Tanmatra Tattwa, Triguna Tattwa, Catur Dasa Tattwa sampai dengan Sodasa Tattwa dan seterusnya. Dalam ajaran tattwa itu Pratiwi tattwa disebut sebagai Sarwa Tattwa sehingga menjadi sangat penting. Memahami apa yang terdapat di dalam pertiwi, hukum-hukumnya mutlak bagi para pendeta. Kiranya itulah sebabnya beliau juga melakukan aktivitas mretiwi atau bertani. Di sisi lain pretiwi juga dijadikan sebagai contoh dalam menyampaikan ajaran agama termasuk ajaran kesusilaan. Bahwa untuk mencontoh kesabaran, contohlah ibu pertiwi, yang senantiasa sabar dan tak henti-hentinya memberikan kehidupan bagi segala yang tumbuh diatasnya. Orang yang sabar disebut sang ksamawan, dan apabila masyarakat kehilangan sang ksamawan, maka masyarakat akan diselubungi oleh orang-orang gelisah, murka, akhirnya terjadi pertengkaran (Bahasa teks Sarasamuccaya sbb : ”Sang ksamawan ngaranira, tan pahi lawan sang hyang Prthiwi, ring kapwa kelan,an mangkana, tan hana niyataning pamitran krodhatmaka awaking sarwabhawa, kapwa tan tukar niyatanya”). Kaum brahmana atau pendeta yang bertani memiliki pengetahuan yang sempurna ketika menulis tentang simbolis pertiwi karena beliau benar-benar merasakan bagaimana ibu pertiwi itu sendiri ketika beliau bertani. Maka ketika beliau menguncarkan pratiwi puja atau akasa puja benar-benar beliau merasakan hakekat puja itu sendiri. Jagattraya Bukan hanya itu hukum-hukum Jagattraya atau ketiga dunia benar-benar menjadi sesuatu yang dirasakan bukan hanya sesuatu yang diketahui. Apa yang disebut sebagai Rta atau Dharma yang menjadi hukum Jagattraya adalah pengetahuan terpenting bagi kaum Brahmana. Maka karena beliau juga bertani beliau juga benar-benar mengetahui apa yang disebut sebagai Rtu atau musim. Bagi para pujangga musim begitu penting karena ketika melukiskan keadaan alam mereka harus memahami ciri-ciri musim tersebut. Kapat misalnya begitu penting bagi para pujangga, bulan penuh keindahan, bulan yang dinanti-nanti untuk menulis karya sastra. Guntur, hujan rintik-rintik dan bunga bermekaran pada sasih Kapat (Kartika) selalu mendapatkan deskripsi panjang di dalam karya sastra berkait dengan keindahan dan cinta. Para pujangga yang bertani dan gemar menyusup ke dalam ladang akan mendapat pengetahuan lengkap tentang flora dan fauna, yang akan dijadikan kata-kata puisi di dalam karyanya. Berbagai pohon bunga seperti asoka dan asana, pudak dan ketaka, pidada dan campaka, begitu menarik perhatian para pujangga. Demikian pula buah-buahan seperti “jambu, durian, poh, manggis, kapundung, duwet” (Lihat Kakawin Ramayana) dicatat dalam karya sastra yang tertua dan terindah itu. Dengan masuk ke alam dan membenamkân din kedalam alam para brahmana mendapat puncak yoga, termasuk yoga sastra. Hukum Jagattraya yang terbangun atas Uttpeti, Sthiti dan Pralina terhayati dengan sempurna. Kelahiran, kehidupan dan kematian adalah keniscayaan, oleh karena itu ajaran tentang Sangkanparan dumadi atau hakekat asal dan tujuan manusia menjadi penting. Di dalam Kakawin Arjunawiwaha ada disuratkan bahwa Sang Pencipta menyusup ke dalam yang ada maupun tiada, menjadi sebab adanya kelahiran, kehidupan dan kematian, tetapi juga adalah hakikat asal dan tujuan manusia. Beliau hanya akan diketahui dengan nyata oleh dia yang melaksanakan yoga. Sebelumnya dinyatakan bahwa sang pencipta bagaikan api di dalam kayu, bagaikan minyak di dalam santan, yang nyata-nyata muncul apabila ada orang yang memutar kesadaran dengan benar. Boleh jadi memutar kesadaran dengan benar bukan hanya duduk bersila atau beryoga menurut pandangan umum, namun menyusup ke dalam alam, memahami hukum-hukumnya dengan penuh kesabaran dan ketetapan hati. Maka disamping beryoga dengan bersila para Brahmana dan pujangga di masa lalu beryoga dengan membenamkan diri ke dalam alam. Kita mewarisi sejumlah karya filsafat atau tattwa dan karya sastra dari tangan kuat namun halus kaum pendeta dan pujangga di masa lalu. Kaum pendeta atau brahmana yang bertani, yang mengolah sawah sebagai jalan yoga, yang mengolah tanah sebagai persembahan dan bhakti. Beliau berpegang kepada sesuatu yang diyakini sebagai ajaran yang abadi, bahwa hidup adalah karma, dan dengan berkarma kita menumbuhkan bhakti dan Jnana. Seluruh hidup adalah jalan yoga menuju kamanunggalan dengan Sang Pencipta.
Oleh: Ki DharmaTanaya
WHD. No. 471 April
2006.
|
Jumat, 25 Oktober 2013
Brahmana Itu Bertani
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar